Selasa, 01 Desember 2009

PROFIL PAROKI ST.YOSEF BALIGE

Paroki St. Yosef Balige berdiri tahun 1934 sebelumnya bergabung dengan Paroki Sibolga. Jumlah umat sekarang 12000 orang dari 600 kk yang terdiri dari 29 stasi.

Pastor yang pertama bertugas di Paroki St. Yosef Balige adalah P.Sybrandus van Rossum OFM Cap.(1934), dan saat ini dilayani oleh: P.Angelo pk Purba, OFM Cap (pastor paroki), P.Arie van Diemen OFM Cap, D.Fransiskus OFM Cap dan D.Silvester, Pr

Lembaga Hidup Bakti yang ada di paroki ini adalah:

1.Susteran FCJM, yang mulai berkarya tahun 1938, karya pelayanan mereka ada di bidang Poliklinik, pendidikan, asrama putri dan penitipan anak.

2.Frateran CMM, yang mulai berkarya tahun 1950 Karya pelayanan mereka adalah bidang pendidikan dan asrama putra Sekolah Katolik yang ada : TK (berdiri tahun 1954 ), SD ( berdiri tahun 1955), SMP (berdiri tahun 1950), SMA ( berdiri tahun 1956) . Paroki ini mengelola usaha simpan-pinjam yang namanya CU. HARAPAN BARU, yang berdiri tahun 1981 Jumlah anggota sekarang 409 orang dan jumlah modal kurang lebih Rp 1.067.322.368,-

Pembinaan umat dan pengurus gereja yang diselenggarakan paroki: Kursus Perkawinan (setiap bulan), Sermon Rayon (setiap bulan), Rapat DPPH (setiap bulan) dan kursus yang diselenggarakan Trikom KAM.

Sabtu, 28 November 2009

BUKU KENANGAN

KATA PENGANTAR

Kita haturkan sembah dan syukur kepada Tuhan atas segala berkat, lindungan serta bimbingan-Nya yang senantiasa menyertai perjalanan Gereja Katolik di Tanah Batak ini. Kini Gereja Katolik di Tanah Batak telah memasuki usianya yang ke-75 tahun, terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Buku kenangan ini kami beri judul “Matahari Terbit di Tanah Batak”: Kenangan 75 Tahun Gereja Katolik i Tanah Batak. Kata “Matahari Terbit” merupakan suatu ungkapan suasana batin Pastor Sybrandus van Rossum yang pada awalnya merasa berat untuk memulai tugas di Tanah Batak. Tetapi pada hari-hari pertama dia hidup di tengah-tengah orang Batak suasana berat itu berubah menjadi suatu cahaya terang benderang yang menerangi hatinya untuk memulai misi di Tanah Batak. “Tanah Batak” yang kami maksudkan dalam buku dan pesta ini ialah seluruh daerah di empat kabupaten yakni Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Samosir.
Dalam bab kedua buku kenangan ini kami secara khusus menghadirkan ke tengah-tengah kita karya tulis Pastor Sybrandus van Rossum berjudul “De Zon Gaat Op in Balige” (Matahari Terbit di Balige) yang diterjemahkan oleh Pastor Arie van Diemen, OFM Cap untuk mengenang perjuangan misionaris pertama kita di Tanah Batak ini. Maka buku ini merupakan kenangan atas pesta yang menggembirakan sekaligus renungan atas 75 tahun Gereja Katolik di Tanah Batak tanpa ada tuntutan ilmiah.
Pesta Yubileum 75 Tahun Gereja Katolik di Tanah Batak yang dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2009 di Balige, dihadiri oleh lebih kurang 7000 orang umat Katolik yang berasal dari 2 Depwil yaitu Depwil Parbasa dan Depwil Tuhuta.
Harapan kami bahwa pesta dan buku kenangan ini dapat memberi semangat, kegembiraan dan harapan yang segar untuk perjalanan panjang ke depan.
Kami menyadari keterbatasan kami untuk menyebutkan satu per satu nama orang-orang yang sangat berjasa, khususnya pemuka jemaat yang sungguh-sungguh mau memberi diri dan berperan dalam membantu pertumbuhan dan perjalanan Gereja di tanah leluhur ini.
Pada kesempatan yang bersejarah dan yang membahagiakan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Ordo Kapusin, khususnya Kapusin Provinsi Belanda, Kapusin Provinsi Swiss, semua kongregasi suster, frater, bruder yang sampai saat ini masih tetap setia berkarya di Tanah Batak ini. Juga kami berterimakasih kepada sekian banyak umat yang berjasa yang tidak dapat kami sebut satu per satu di sini.
Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap yang sebagai pastor muda pernah melayani di Tanah Batak ini dan yang memimpin Keuskupan ini selama 34 tahun. Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap yang sangat mendukung kami untuk merayakan pesta ini. Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Leopoldo Girelli yang menghadiri pesta ini serta seluruh Uskup Indonesia dan para pastor yang melayani Depwil Parbasa dan Tuhuta yang mendukung perayaan ini.
Kami ucapkan berlimpah terimakasih kepada seluruh panitia yang mempersiapkan dan yang menyelenggarakan perayaan Yubileum ini serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan, Pemerintah Daerah Samosir serta Pemerintah Daerah Toba Samosir yang menjadi tuan rumah pesta ini.
Juga kami ucapkan banyak terimakasih kepada donatur yang membantu kami dalam pelaksanaan pesta ini. Semoga Tuhan membalas segala budi baik para donatur kami. Kepada seluruh umat Katolik di paroki-paroki Depwil Parbasa dan Depwil Tuhuta serta semua orang yang mau terlibat dalam pesta Yubileum ini kami ucapkan terimakasih.
Akhir kata kami ucapkan: Horas…Horas…Horas….

Atas Nama Seksi Buku Kenangan dan Seluruh Panitia


P. Angelo Pk Purba, OFMCap.





BAB I
JALAN PANJANG PENUH LIKU

1. Pengantar
Berabad-abad lamanya orang Batak hidup tanpa dipengaruhi oleh dunia luar. Mereka lama terisolir tinggal di dataran tinggi nan luas yang dibentengi oleh gunung-gemunung. Daerah itu sulit untuk dimasuki oleh orang luar karena jalan-jalan belum dibuka dan harus ditempuh dengan menyusuri lereng-lereng pegunungan. Namun dengan kehadiran Zending Protestan serta kedatangan Belanda daerah tersebut semakin terbuka dan kemudian terjadilah perubahan drastis dalam masyarakat Batak. Benteng ketertutupan dan isolasi terhadap dunia luar roboh dan dunia orang Batak terbuka luas. Orang Batak tidak mau lagi hidup dalam ketertutupan, mereka menginginkan kemajuan. Babak baru dalam kehidupan orang Batak ini ditandai dengan eksodus besar-besaran meninggalkan tanah leluhur pergi merantau ke kota-kota sekitar. Di tempat perantauan itulah mereka melihat dan mulai mengejar kemajuan sembari berkenalan dengan agama Kristen yang lain khususnya Gereja Katolik. Perkenalan antara orang Batak dengan Gereja Katolik ternyata bagaikan “gayung bersambut”; keinginan kuat dari orang Batak sendiri untuk menjadi Katolik serta tanggapan yang positif dari pihak Misi Katolik, walaupun misi terlambat, ternyata membuahkan hasil panen melimpah. Namun harus kita akui bahwa usaha untuk memulai Misi Katolik di tengah-tengah orang Batak harus melalui jalan panjang penuh liku.
Jalan panjang penuh liku tersebut kami uraikan dalam dua hal di bawah ini, yakni faktor penghambat dan faktor pendukung.

2. Faktor Penghambat dan Pendukung
A. Faktor Penghambat
Ada tiga faktor yang menurut kami menjadi penghambat Misi Katolik masuk ke Tanah Batak, yakni: tanggapan awal yang kurang antusias dari Misi Katolik, Zending Protestan sudah berumur 73 tahun di sana serta artikel 123 atau artikel 177.

1. Tanggapan Awal Yang Kurang Antusias dari Misi Katolik
Setelah orang Batak membuka diri terhadap dunia luar dan berusaha mengejar kemajuan di segala bidang kehidupan, pada saat itulah mereka bertemu dengan Misi Katolik di perantauan. Didorong oleh keinginan untuk mengenal Katolik secara lebih dalam, maka mereka mendatangi pastor-pastor misionaris. Hal itu kemudian melahirkan keinginan banyak orang Batak untuk menjadi Katolik. Tetapi beberapa misionaris menilai bahwa kontak dengan orang Batak merupakan sesuatu hal yang kurang penting. Awalnya hanya pastor Wenneker, SJ yang melihat bahwa kontak itu adalah sesuatu yang sungguh bermakna.
Tahun 1912 pastor Jesuit menyerahkan misi di Sumatera kepada Kapusin Belanda. Namun pada awal misi para misionaris kurang dipersiapkan untuk bermisi di Indonesia terutama untuk orang-orang pribumi. Mereka kurang memahami budaya, agama dan adat-istiadat setempat. Orang Belanda yang mereka kenal di Indonesia berbeda dengan ketika mereka masih di Belanda. Hal itu mengakibatkan banyak misionaris yang tidak bertahan. Misi menjadi dianggap sangat berat bahkan pada tahun 1917 pimpinan Provinsi Kapusin Belanda memohon kepada Kuria General di Roma agar Provinsi Belanda dibebaskan dari misi di Sumatera. Tetapi permohonan ditolak.
Mgr. Liberatus Cluts yang diangkat menjadi Prefek Apostolik Sumatera tanggal 24 Mei 1912 kurang antusias atau masih curiga terhadap keinginan orang Batak untuk menjadi Katolik. Cluts yang agak konservatif itu menolak untuk berkerasulan di tengah-tengah orang Batak dengan alasan para misionaris belum mengerti bahasa daerah. Desakan dari Provinsial Kapusin supaya Mgr. Cluts menerima orang Batak yang berada di Padang menjadi Katolik seperti yang telah dimulai oleh pastor Wenneker SJ di Batavia, kurang mendapat tanggapan dari Mgr. Cluts. Bahkan sebaliknya dia mengkritik orang-orang Batak sehingga mereka tidak mau lagi datang berkunjung ke pastoran Padang.

2. Zending Protestan
Zending Protestan dimulai sejak tahun 1861 di Tanah Batak. Artinya Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.